Tetapi sudah
berapa korbannya ? Di Medan outlet KFC, yang sama sekali gak ada
urusannya dengan BBM, dirusak massa, pengunjung ketakutan, pemilik dan
pegawai dirugikan. Padahal mereka semua itu rakyat belaka. Di Jambi
seorang jurnalis yang sedang meliput demo terkena selongsung
peluru gas air mata, pas dimukanya. Di Makasar pendemo bentrok dengan
warga, padahal jurnalis dan warga itu ya rakyat juga yang katanya sedang
dibela oleh mahasiswa.
Belum lagi kerugian yang ditimbulkan oleh
kemacetan yang berjam-jam sebagai akibat jalan diblokir massa, dan
kerusuhan-keruruhan ini bukan terjadi sekali-dua-kali melainkan
berkali-kali, berulang-ulang, selama hampir setahun ini. Senior saya,
yang guru besar psikologi juga, pernah terkena gas air mata seluruh
wajahnya, gara-gara beliau membuka pintu mobilnya, mau pulang setelah
demo reda, padahal mobil itu sudah penuh dengan gas air mata dari
sebuah peluru gas yang kebetulan menembus kaca belakang mobilnya. Korban
yang sangat sia-sia yang ditimbulkan oleh orang-orang yang bernafsu
demo (tidak ada isyu BBMpun mereka berdemo).
Yang lebih dirugikan lagi adalah para nelayan, para sopir truk, dan operator-operator pabrik yang pekerjaannya sangat tergantung pada premium dan solar. Tidak ada solar, nelayan tidak bisa melaut, sopir truk harus antri berjam-jam menghabiskan uang makannya, dan pabrik-pabrik berhenti beroperasi, yang menyebabkan para pekerja pabrik tidak bisa bekerja, dan tidak ada penghasilan untuk anak-isterinya. Sementara itu bensin dan solar ditimbun oleh para penimbun yang ingin cari untung buat diri sendiri. Sekarang ditimbun dulu, nanti kalau sudah naik, baru dijual dengan untung yang berlipat ganda. Karena harga BBM tidak kunjung naik, maka BBM terus ditimbun. Kalaupun sempat dilepas, karena sepertinya harga BBM tidak jadi naik, begitu ada isyu naik lagi, ditimbun lagi.
Lain halnya dengan rakyat, yang katanya dibela oleh pendemo, yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari jalur distribusi BBM seperti pulau-pulau terluar, atau desa-desa di Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat-pesawat terbang missionary, buat mereka harga BBM naik atau tidak, mereka harus membeli BBM dengan harga yang berkali-kali lipat. Itupun kalau barangnya ada.
Padahal ketika jaman Pak Harto, kenaikan harga BBM diumumkan di TV jam 21.00, jam 24.00 atau jam 00.00 langsung harga sudah naik. Tidak ada demo, apalagi korban gas air mata atau perusakan fasilitas umum. Paling-paling orang-orang mengantri menjelang tengah malam untuk membeli bensin atau solar dengan harga lama pada beberapa jam terkahir sebelum harga naik. Saya tidak pernah melakukan itu, karena saya hitung-hitung keuntungan beberapa rupiah dari membeli bensiun dengan harga lama itu, tidak sebanding dengan waktu saya untuk mengantri di pompa bensin. Tetapi hal seperti inilah yang menyebabkan ada sementara orang yang mengedarkan liwat twitter, bahkan ada yang sudah membuatnya sebagai motif kaos, gambar Pak Harto sedang tersenyum, dengan tulisan “Piye kabare, rak enak jamanku to?” (Apa kabar, enakan jaman saya, kan?)
Sebagai seorang militer pak Harto paham benar dengan yang disebut strategi pendadakan. Serangan dilakukan sebelum lawan siaga, tidak boleh ada kebocoran, dan lawan betul-betul dibuat tidak berkutik, karena memang tidak menduga adanya serangan. Strategi ini digunakan juga oleh Pak Harto dalam mengumumkan kenaikan harga BBM. Masyarakat tidak berkutik, tinggal nurut saja.
Startegi ini juga sesuai dengan teori psikologi massa. Massa itu rata-rata malas berpikir. Apa yang ada ya diikuti saja. Persis seperti rombongan bebek yang mengikuti saja bebek yang paling depan, yang disebut Sontoloyo, dan si Sontoloyo ini hanya mengikuti umbul-umbul pada tongkat panjang yang diacungkan oleh si penggembala itik dari belakang barisan bebek. Karena itu bebek-bebek itu bisa berbaris rapi. Tetapi begitu sampai ke tujuan penggembalaan (biasanya sawah yang baru selesai dipanen) si penggembala membiarkan itik-itiknya mencari makan sendiri-sendiri. Berpencaranlah bebek itu sambil bertelur. Si penggembala dengan senang memanen telur-telur itu.
Begitu juga halnya dengan massa rakyat Indonesia,
Kalau didadak saja kenaikan BBM, hampir seluruh rakyat akan ikut saja.
Paling-paling beberapa orang yang tidak senang saja akan ngomel di TV,
tetapi sebentar saja akan berlalu. Pasti omelannya tertutup dengan
isyu-isyu lain yang lebih seru seperti “dagang daging sapi”, atau kasus
“Cebongan”.
Tetapi pendekatan pemerintah SBY lain sekali. Walaupun sudah berkali-kali ditegaskan oleh pemerintah sendiri, bahkan oleh anggota DPR, bahwa kenaikan harga BBM adalah wewenang pemerintah, tidak perlu konsultasi dulu dengan DPR, dengan alasan sosialisasi atau demokrasi rakyat diajak diskusi dulu. Di sinilah kesalahan fatalnya.
Alasan-alasan pemerintah memang sangat masuk akal: pemanfaat subsidi adalah pemilik-pemilik mobil pribadi yang sebetulnya tidak memerlukan subsidi itu, APBN bisa jebol karena harus membayar subsidi BBM, lebih baik dana subsidi itu untuk membangun infrastruktur dan lainnya. Tetapi alasan-alasan itu untuk massa tidak penting. Alih-alih ditanggapi dengan baik, dengan adu argumentasi yang benar-benar rasional, reaksi yang timbul hanya “Tolak kenaikan harga BBM!” Titik! Dikipasi oleh Media Massa, nafsu amarah massa makin berkobar, dan kalau massa sudah marah, sulit sekali dikendalikan. Apalagi Polisipun di lapangan tidak berani tegas. Alih-alih mencegah demo, malah membiarkan sehingga berakhir anarkis.
Sosialisasi dan demokrasi sebetulnya bagus-bagus saja, tidak ada salahnya. Tetapi dalam teori kepemimpinan ada dalil yang menyatakan bahwa pemimpin berbeda dengan manajer. Seorang manajer sejauh mungkin harus mengikuti peraturan dan prosedur yang baku, agar semua berjalan baik, tertata rapi sesusai aturan. Sementara seorang pemimpin justru kadang-kadang harus berani keputusan terobosan yang cepat dan tegas yang mungkin melanggar aturan. Pokoknya tujuan tercapai. Masalah kita saat ini adalah bahwa Presiden yang seharusnya berperan sebagai pemimpin, lebih memilih untuk berperan sebagai manajer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar